“PHK tentu memiliki dampak yang sangat signifikan bagi para pekerja/buruh, oleh karena itu perlu bagi karyawan mengetahui seluk-beluk dari PHK.”
Dilansir dari detik finance (15/03/23), diberitakan bahwa banyak perusahaan yang PHK Karyawannya menjelang Lebaran. Perusahaan tersebut seperti PT. Agel Langgeng (Anak Usaha Kapal Api), PT. Tuntex Garment Indonesia, PT. Soyaka Cerdas Kaya, PT. GoTo Gojek Tokopedia Tbk, dan masih banyak lagi.
Dari banyaknya PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, kita sebagai masyarakat patut untuk memahami seluk-beluk dari PHK, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang patut dipenuhi oleh pekerja/buruh bahkan perusahaan itu sendiri, karena tidak memungkiri, mungkin kita sebagai masyarakat ada di posisi sebagai pekerja atau perusahaan, oleh karena itu simak hal-hal berikut.
Pemutusan Hubungan Kerja
Berdasarkan pada definisi menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja itu sendiri adalah suatu pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Oleh karena itu, pekerja/ buruh tidak lagi perlu untuk memenuhi kewajibannya melakukan aktivitas kerja tersebut. Praktisi Hukum Ketenagakerjaan yang juga mantan Hakim Ad Hoc PHI PN Jakarta Pusat periode 2006-206, Juanda Pangaribuan, menyatakan ada 4 jenis PHK sebagaimana diatur dalam UU Cipta sebagai berikut :
- PHK yang sifatnya demi hukum
Pelaksanaan PHK demi hukum ini misalnya pekerja/buruh meninggal dunia, pensiun, yang sesuai dengan perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, dan undang-undang.
- PHK karena melanggar perjanjian kerja (PK) atau perjanjian kerja bersama (PKB), peraturan perusahaan (PP), undang-undang (UU).
Dilakukannya PHK ini adalah karena murni adanya pekerja/ buruh yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, dan undang-undang.
- PHK sepihak;
Pada PHK yang dilakukan secara sepihak ini bisa dilakukan oleh pekerja/buruh yang berinisiatif mengundurkan diri atau Perusahaan yang melanggar mekanisme dan alasan PHK yang sudah diatur di dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, dan undang-undang, atau bahkan karena adanya kemauan dari perusahaan itu sendiri.
- PHK karena kondisi tertentu.
Kondisi tertentu ini juga mempengaruhi terjadinya PHK dalam perusahaan seperti adanya pekerja/buruh yang mengalami sakit secara terus-menerus, atau perusahaan mengalami musibah, atau pailit, bahkan mengalami kerugian dalam jumlah besar yang mengharuskan PHK dilaksanakan.
Dari banyaknya berbagai jenis PHK dalam perusahaan, tentu hal ini akan memberikan dampak buruk bagi karyawannya, namun tidak dapat dipungkiri hal ini harus dihadapi apabila kita sebagai masyarakat sedang di posisi sebagai karyawan, oleh karena itu kita patut memahami mekanisme yang benar dalam melakukan PHK sesuai dengan regulasi terkait ketenagakerjaan di Indonesia, yang baru ini telah berlaku mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja.
Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja
Pelaksanaan PHK yang saat ini marak terjadi, sangat di luar kendali dari pekerja/buruh, oleh karena itu pekerja/buruh wajib memperhatikan dalam segala aspek, terkait dengan mekanisme PHK ini.
Berdasarkan pada PP Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 37 ayat (3) menyatakan bahwa :
“Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.”
Penerapan PHK yang benar berdasarkan pada PP Nomor 35 Tahun 2021, perlu dengan adanya surat pemberitahuan terlebih dahulu paling lama dalam jangka waktu empat belas hari sebelum dilangsungkannya PHK. Pengusaha yang telah melakukan PHK, wajib untuk membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Untuk uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja adalah sebagai berikut :
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Uang pesangon merupakan hak bagi para pekerja/buruh yang telah mengalami PHK oleh perusahaan, namun bagi para pekerja yang menolak untuk dilakukannya PHK, pekerja/buruh dapat melakukan suatu upaya hukum tertentu.
Sebagai kaum pekerja/buruh, kita harus mengetahui jenis-jenis perselisihan terlebih dahulu sebelum akan mengajukan suatu upaya hukum yang berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial, karena perselisihan hubungan industrial ini pastinya karena menyinggung hak pekerja/buruh tersebut.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dikategorikan jenis-jenis perselisihan di ranah hubungan industrial yaitu sebagai berikut :
- Perselisihan Hubungan Industrial
- Perselisihan hak
- Perselisihan kepentingan
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja
- Perselisihan antar serikat pekerja/buruh
Kali ini yang akan kami bahas adalah upaya hukum dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Upaya Hukum Dalam Menghadapi PHK Sepihak Tanpa Kesalahan
Seringkali PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan karena adanya alasan yang tidak sesuai dan bahkan menyinggung hak dari para pekerja/buruh sehingga sangat meresahkan para pekerja/buruh. Hal-hal lain yang juga menjadi pemicu terjadinya PHK sepihak ini karena adanya celah bagi perusahaan karena memiliki suatu peraturan di perusahaannya yang dirasa multitafsir dan sedikit rancu, sehingga mudah bagi perusahaan melakukan PHK terhadap karyawannya.
Berdasarkan pada konteks mengenai peraturan perusahaan itu sendiri, ketentuan perusahaan dalam membuat suatu peraturan tetap harus mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan UU No. 2 Tahun 2004. Peraturan Perusahaan yang dibuat ini harus memuat kualifikasi mengenai :
- Hak dan kewajiban pengusaha;
- Hak dan kewajiban pekerja/buruh;
- Syarat kerja;
- Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Apabila dalam suatu perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja/buruh, pekerja/buruh yang menolak PHK terjadi, dapat melaksanakan upaya hukum dengan cara mengajukan upaya bipartit . Bipartit ini adalah salah satu tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan. Tahap Bipartit ini apabila tidak memperoleh kesepakatan maka akan diajukan kepada tahapan-tahapan lain seperti :
- Mediasi
- Konsiliasi
- Arbitrase
Dari adanya tahapan-tahapan tersebut, apabila tidak diperoleh adanya titik temu dari perselisihan hubungan industrial, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial, terkecuali pada tahapan arbitrase ini, merupakan suatu putusan yang memutus pada tingkat terakhir, oleh karena itu upaya hukum yang diajukan adalah pembatalan putusan arbitrase ke Mahkamah Agung.
Pelaksanaan bipartit ini merupakan suatu musyawarah mufakat yang harus diselesaikan dalam 30 hari kerja sejak bipartit dilaksanakan, dimana hasil dari bipartit itu sendiri akan dicatatkan dalam bentuk risalah. Setelah penyelesaian perselisihan melalui bipartit mencapai mufakat maka akan dibentuklah suatu perjanjian bersama yang nantinya perjanjian tersebut akan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Namun apabila dalam penyelesaian melalui bipartit tidak mencapai mufakat, maka pihak pekerja/buruh mendaftarkan perselisihan ini ke Dinas Tenaga Kerja dengan melampirkan risalah, atau surat panggilan atau bahkan surat ajakan bipartit tersebut. Setelah Dinas Tenaga Kerja menerima keluhan perselisihan tersebut, maka Disnaker akan mengarahkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui dua jalur yaitu Konsiliasi atau Arbitrase, apabila di antara Konsiliasi dan Arbitrase tidak ditemukan solusi penyelesaian perselisihan ini, maka mediasi adalah jalur terakhir sebagai solusinya. Apabila solusi ini juga tidak tercapai maka pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan akibat pemutusan hubungan kerja ini, dapat melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah setempat.
Kesimpulan
Dalam praktiknya itu sendiri, banyak perusahaan-perusahaan yang di masa kini melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, tanpa didukung dengan alasan yang jelas dan logis, yang tentu merugikan pihak pekerja atau buruh. Sebagai pekerja/buruh yang menghadapi situasi dan kondisi yang seperti ini, adalah menjadi hak mutlak bagi para pekerja atau buruh untuk melakukan suatu upaya hukum demi mempertahankan haknya. Dengan adanya beberapa langkah-langkah untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perselisihan hubungan industrial yang biasa terjadi antara pihak karyawan maupun perusahaan dapat diselesaikan dengan baik.
AMEILIA HERPINA DENOVITA, S.H.
Sumber :
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
- Eduardo Simorangkir. Detik.com. “600 Karyawan GOTO di-PHK, Masih Dapat THR hingga Bonus Tahunan”. Diakses pada 30 Mei 2023. (https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-6611655/600-karyawan-goto-di-phk-masih-dapat-thr-hingga-bonus-tahunan).
- Akun Youtube : Hukum 10 Menit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Bagian I dan II).
Konsultasikan permasalahan hukum Anda melalui Law Firm Minola Sebayang and Partners !